Latest Entries »

kita semua yang hidup di dunia ini pasti menunggu sesuatu. entah itu menunggu bus untuk pulang, menunggu warisan, menunggu sembako, menunggu jodoh yang tepat, atau menunggu kematian. dan terkadang perkara menunggu ini bisa membuat kepala yang tidak gatal jadi terasa gatal karena tidak keramas sebulan. seperti kata Einsten tentang teori relativitas. ia bilang, “kalau kita menunggu dekat kompor, 5 menit saja rasanya seperti 5 jam. Tapi kalau dekat pacar 5 jam rasanya kayak 5 menit saja…” lama kelamaan Peri Hutan jadi linglung. tak tahu lagi apa yang ditunggunya atau dicarinya. busyet! bisa berabe urusannya kalau dibiarkan. hidup tak ada artinya lagi ketika kita hanya membunuh waktu di dalamnya tanpa tahu tujuan, dengan cara-cara yang ala kadarnya pula. ada yang bilang hidup adalah sebuah pilihan; di dalam hidup ini kita tak terhindarkan dari urusan pilih-memilih yang memusingkan kepala. tidak salah jika lantas ada yang berteori : penentu segala yang terjadi di dalam kehidupan ini adalah si empunya hidup itu sendiri, tak ada sangkut pautnya dengan sang Alam Semesta. ada lagi yang teguh pada keyakinan bahwa takdir itu memang sudah digariskan. kita tak bisa berbuat apa-apa selain menjadi aktor, pelakon drama kehidupan yang sudah tertoreh di dalam skenario karena toh pilihan-pilihan yang telah kita buat itu rupa-rupanya juga sudah terdapat di dalam naskah. lalu ada juga yang coba-coba menjadi penengah : si empunya hidup boleh saja berencana atau berusaha (dan memang harus seperti itu; bukannya bertopang dagu menunggu durian runtuh dari langit) tapi penentu segalanya tetap saja sang Alam Semesta. *** seperti tamu yang tak diundang, ingatan tentang si Kurcaci Tukang Sulap lagi-lagi meluncur deras tanpa permisi. bukannya tanpa sebab tiba-tiba si kurcaci, yang memang pekerjaan sehari-harinya sebagai tukang sulap itu bisa muncul di benak Peri Hutan. pasalnya, kemarin sore Peri Hutan berjanji dengan sahabat lamanya, Peri Dagu Runcing, untuk bertemu di perbatasan hutan bunga matahari dan hutan pinus, yang sekarang jadi tempat tinggal sahabat lamanya itu. memang sejak kepindahan Peri Dagu Runcing ke hutan sebelah, Peri Hutan jadi jarang sekali bertemu dengan peri yang suka tertawa terkekeh-kekeh ini. selama setahun pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari, karena mereka sudah memiliki kehidupan dan masalahnya sendiri masing-masing. makanya, pertemuan langka semacam ini tak disia-siakan oleh keduanya. tak ada yang istimewa dari pertemuan itu, sampai si Kurcaci Tukang Sulap tiba-tiba muncul untuk menjemput Peri Dagu Runcing, satu-satunya adik yang ia miliki. ah, seharusnya Peri Hutan tahu sampai kapanpun ia takkan bisa menghindar dari tukang sulap yang agaknya sayang benar pada adiknya itu. pokoknya di mana ada Peri Dagu Runcing sudah dapat dipastikan ada Kurcaci Tukang Sulap yang menemani. Peri Hutan masih ingat lelucon-lelucon bodoh si Kurcaci Tukang Sulap yang sering ia lontarkan dan kepiawaiannya dalam bermain sulap yang selalu membuatnya tercengang. ia juga masih ingat benar kejadian di stasiun Kaktus yang mengubah segalanya di antara mereka. kejadian di mana banyak sekali janji pertemuan dengan si Kurcaci Tukang Sulap yang ia abaikan. dan ketika akhirnya janji pertemuan di stasiun Kaktus untuk pergi berpetualang bersama itu ia penuhi, ia malahan menghilang dalam kereta yang sama tanpa pernah turun dari gerbong. ia bahkan tak bisa lupa bagaimana ia bersembunyi dan mengintip di balik gorden kaca gerbongnya, meninggalkan Kurcaci Tukang Sulap yang kebingungan menunggu tanpa kabar darinya sambil menggendong ransel. meski kejadian itu sudah sangat lama terjadi. alasannya hanya ketakutan yang mengada-ada. takut ia tersesat dan tidak menemukan jalan pulang. takut tak tahu apa yang harus diobrolkan dan perjalanan yang panjang itu jadi terasa membosankan. takut ditipu seperti TKW di negeri tetangga karena bodoh dan tak tahu apa-apa jika dibandingkan dengan Kurcaci Tukang Sulap yang nampaknya sudah banyak makan asam garam. ironis memang jika dirunut dari awal. di balik sikap gagah beraninya, Peri Hutan cuma peri yang payah yang selalu lari dari apapun sambil menggendong ranselnya yang berisi buntalan ketakutan. apa jadinya jika waktu itu Peri Hutan memilih turun dari keretanya? dari Peri Dagu Runcing ia tahu bahwa Kurcaci Tukang Sulap tak pernah terlibat janji pertemuan lagi dengan siapapun sejak kejadian di stasiun Kaktus itu. lalu apa yang membuat si Kurcaci Tukang Sulap masih setia di dalam penantiannya sampai sekarang? apa yang sebenarnya selama ini Peri Hutan butuhkan? mengapa ia selalu memilih menunggu untuk sesuatu yang tak pernah pasti padahal tawaran-tawaran di depan batang hidungnya lalu lalang? dan banyak kata tanya apa dan mengapa lainnya yang akan terlontar jika kalimat ini dilanjutkan. mungkin akan lebih mudah jika Peri Hutan memiliki keyakinan bahwa ia mungkin saja ditakdirkan untuk sebatang kara sepanjang hidupnya. jadi yang ia perlukan hanyalah kebesaran hati untuk menerima takdirnya itu, tanpa perlu merasa was-was atau dihantui perasaan bersalah dan penyesalan. *** “Kembang gula sugus rasa jeruk untuk Peri Hutan yang manis!” seru Kurcaci Tukang Sulap sambil tersenyum simpul dan menyodorkan sebungkus permen sugus rasa jeruk, yang disulapnya keluar dari belakang telinga kanan Peri Hutan. hanya satu hal ini yang tidak pernah berubah dari Kurcaci Tukang Sulap, bahkan semenjak hari di mana Peri Hutan meninggalkannya sendirian di stasiun Kaktus; ia selalu menghadiahkan permen rasa jeruk buat Peri Hutan dengan trik sulapnya. “Waw! Kembang gula rasa jeruk!!!” pekik Peri Hutan girang. matanya yang bulat berbinar-binar bagai kanak-kanak di dunia fantasi. walau sudah berkali-kali si Kurcaci Tukang Sulap melakukan trik itu, Peri Hutan seakan-akan tak pernah bosan dibuatnya dan selalu terkagum-kagum dengan tipuan sulap semacam itu. *** entah harus berapa pertemuan tak disengaja lagi yang harus Peri Hutan dan Kurcaci Tukang Sulap lewatkan, tanpa terjebak di dalam kebisuan panjang yang menyiksa sehabis sulap permen rasa jeruk…

Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu
mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja
keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu, ayah sendirian di
kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya.

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan.
Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali saya
menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala
Lumpur.

“Nggak usah. lain kali saja.!”jawab ayah. Jawaban itu yang selalu diberikan kepada kami
saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama
kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya.

Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih
libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka.
Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang
diberikannya. “Saya sibuk, ayah. tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir
minggu ini saya akan antar ayah,” balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek
mereka. “Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah.”
katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang
naik bus sendirian.

“Nggak usah saja yah.” bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk ke
kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah
sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. “Ayah ini benar-benar nggak mau
mengerti yah. saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!” balas saya terus keluar menghidupkan
mobil.

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam
mobil, istri saya lalu berkata, “Mengapa bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-
baik! Kasihan khan dia.!” Saya terus membisu.

Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi permintaan
ayah. “Jangan lupa, Pa.. belikan tiket buat ayah,” katanya singkat. Di kantor saya
termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus
buat ayah.

Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. “Bus berangkat pk.
14.00,” kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong
rasa marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah tanpa banyak bicara lalu segera
berbenah. Dia masukkan baju-bajunya kedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam
perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun.

Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.! Setibanya di
stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya Pamit dan terus turun dari bus.
Ayah tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar jendela. Setelah bus

berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat
tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan
teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu
minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun.

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di
kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri yang berada di kantornya.
Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon
ayah di kampung seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus.
Malam berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. “Nggak mungkin
belum tiba,” jawab saya sambil meninggikan suara.

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. “Ayah sudah tiada.”
kata sepupu saya disana. “Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak
nafas saat Maghrib tadi.” Ia lalu meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh
terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan. Istri lalu segera datang dan
bertanya, “Ada apa, bang?” Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru
bisa berkata, “Ayah sudah tiada!!”

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat Itu saya sadar
betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada
ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih berganti menyerbu
pikiran.

Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya sangat
merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan,
seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti akan anak-
anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan
belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-
robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat menahan air mata jika
teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat
bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini.

Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih hidup.
Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi.

Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka.
Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.

Malaikat kecilku tolong ajarkanku tentang arti sebuah kasih
Istriku berkata kepada aku yang sedang baca Koran, “berapa lama lagi
kamu baca Koran itu? Tolong kamu ke sini Dan Bantu anak perempuanmu
tersayang untuk makan.”

Aku taruh Koran Dan melihat anak perempuanku satu2nya,namanya Sindu
tampak ketakutan air matanya mengalir. Di depannya Ada semangkuk nasi
berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas India /curd rice). Sindu anak yang
manis Dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun dia sangat
tidak suka makan curd rice ini. Ibu Dan istriku masih kuno mereka
percaya sekali kalau makan curd rice Ada “cooling effect”.
Aku mengambil mangkok Dan berkata, “Sindu sayang, demi ayah, maukah
kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak ,nanti ibumu akan
teriak2 sama ayah.”

Aku bisa merasakan istriku cemberut dibelakang punggungku.
Tangis Sindu mereda Dan IA menghapus air Mata dengan tangannya Dan
berkata, “boleh ayah akan aku makan curd rice
ini tidak hanya beberapa
sendok, tapi semuanya akan aku habiskan, tapi aku akan minta…” agak ragu2
sejenak… “…akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya.
Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan Ku?”

Aku menjawab, “Oh pasti sayang”.

Sindu tanya sekali lagi, “betul ayah?”

“Yah pasti..” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan Dan
lembut sebagai tanda setuju.

Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama,istriku menepuk
tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, “janji” kata
istriku. Aku sedikit khawatir Dan berkata: “Sindu jangan minta komputer atau
barang2 lain yang Mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang.”
Sindu menjawab, “jangan khawatir, Sindu tidak minta barang2 Mahal kok.”

Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan Dan kelihatannya sangat menderita
dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hatiku aku
marah
sama istri Dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang
tidak disukainya. Setelah Sindu melewati penderitaannya dia mendekatiku
dengan Mata penuh harap Dan semua perhatian (aku ,istriku Dan juga
ibuku) tertuju kepadanya.

Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin pada Hari Minggu.

Istriku spontan berkata, “permintaan Gila, anak perempuan
dibotakin,tidak mungkin!” Juga ibuku menggerutu jangan terjadi dalam keluarga Kita,
dia terlalu banyak nonton TV. Dan program2 TV itu sudah merusak
kebudayaan Kita. Aku coba membujuk: “Sindu kenapa kamu tidak minta hal yang
lain kami semua akan sedih melihatmu botak.” Tapi Sindu tetap dengan
pilihannya, “tidak Ada „yah, tak Ada keinginan lain,” kata Sindu.

Aku coba memohon kepada Sindu, “tolonglah kenapa kamu tidak mencoba
untuk mengerti perasaan kami.”

Sindu dengan menangis berkata, “ayah sudah melihat bagaimana
menderitanya aku menghabiskan nasi susu
asam itu Dan ayah sudah berjanji untuk
memenuhi permintaan aku kenapa ayah sekarang mau menarik perkataan Ayah
sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa Kita
harus memenuhi janji Kita terhadap seseorang apapun yang terjadi seperti
Raja Harishchandra (raja India jaman dahulu kala ) untuk memenuhi
janjinya raja real memberikan tahta, kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya
sendiri.”

Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku, “janji Kita
harus ditepati.” Secara serentak istri Dan ibuku berkata, “apakah aku
sudah Gila?”

“Tidak,” jawabku, “kalau Kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan
pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri.”

“Sindu permintaanmu akan kami penuhi.”

Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar Dan matanya besar Dan
bagus.
Hari Senin aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak
berjalan ke kelasnya Dan
melambaikan tangan kepadaku sambil tersenyum
aku membalas lambaian tangannya. Tiba2 seorang anak laki2 keluar dari
Mobil sambil berteriak, “Sindu tolong tunggu saya.” yang mengejutkanku
ternyata kepala anak laki2 itu botak aku berpikir mungkin “botak” model
jaman sekarang.

Tanpa memperkenalkan dirinya seorang wanita keluar dari Mobil Dan
berkata, “anak anda,Sindu benar2 hebat. Anak laki2 yang jalan bersama-sama
dia sekarang, Harish adalah anak saya, dia menderita kanker leukemia.”
Wanita itu berhenti berkata-kata, sejenak aku melihat air matanya mulai
melelh dipipinya ” bulan lalu Harish tidak masuk sekolah,karena chemo
therapy kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi kesekolah takut
diejek oleh teman2 sekelasnya. Nah, Minggu lalu Sindu datang ke rumah
Dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin
terjadi.
Hanya saya betul2 tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan
rambutnya

yang indah untuk anakku Harish. Tuan Dan istri tuan sungguh diberkati
Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”

Aku berdiri terpaku Dan tidak terasa air mataku meleleh. Malaikat
kecilku tolong ajarkanku tentang arti sebuah kasih.

Minggu siang di sebuah mal. Seorang bocah lelaki umur delapan tahun berjalan menuju
ke sebuah gerai tempat penjual eskrim. Karena pendek, ia terpaksa memanjat untuk bisa
melihat si pramusaji. Penampilannya yang lusuh sangat kontras dengan suasana hingar
bingar mal yang serba wangi dan indah.

“Mbak sundae cream harganya berapa?” si bocah bertanya.

“Lima ribu rupiah,” yang ditanya menjawab.

Bocah itu kemudian merogoh recehan duit dari kantongnya. Ia menghitung recehan di
tangannya dengan teliti. Sementara si pramusaji menunggu dengan raut muka tidak sabar.
Maklum, banyak pembeli yang lebih “berduit” ngantre di belakang pembeli ingusan itu.

“Kalau plain cream berapa?”

Dengan suara ketus setengah melecehkan, si pramusaji menjawab, “Tiga ribu lima ratus”.

Lagi-lagi si bocah menghitung recehannya, ” Kalau begitu saya mau sepiring plain cream
saja, Mbak,” kata si bocah sambil memberikan uang sejumlah harga es yang diminta. Si
pramusaji pun segera mengangsurkan sepiring plain cream.

Beberapa waktu kemudian, si pramusaji membersihkan meja dan piring kotor yang sudah
ditinggalkan pembeli. Ketika mengangkat piring es krim bekas dipakai bocah tadi, ia
terperanjat. Di meja itu terlihat dua keping uang logam limaratusan serta lima keping
recehan seratusan yang tersusun rapi.

Ada rasa penyesalan tersumbat dikerongkongan. Sang pramusaji tersadar, sebenarnya
bocah tadi bisa membeli sundae cream. Namun, ia mengorbankan keinginan pribadi
dengan maksud agar bisa memberikan tip bagi si pramusaji.

Pesan moral yang dibawa oleh anak tadi: setiap manusia di dunia ini adalah penting. Di
mana pun kita wajib memperlakukan orang lain dengan sopan, bermartabat, dan dengan
penuh hormat.

Menjadi “sama dan serupa” dengan remaja lain merupakan keinginan dari semua remaja.
Saya ingat benar bagaimana sebagai seorang remaja dalam tahun 1963 saya merasa harus
memiliki sepasang sepatu sport mutakhir yang sedang “in”. Persoalannya, bulan lalu saya
baru saja membeli sepasang sepatu kulit.

Tapi, sepatu sport benar benar sedang mode, oleh sebab itu saya datang kepada ayah
minta bantuannya. “Saya perlu sedikit uang untuk sepatu sport”, ujar saya suatu petang di
bengkel di mana ayah saya bekerja sebagai montir. “Willie” ayah kelihatannya terkejut.
“Sepatumu baru berumur satu bulan, tapi Mengapa kini kau perlukan sepatu baru?”
“Setiap orang memakai sepatu sport yah!” “Sangat boleh jadi nak, Namun hal tersebut
tidak menjadikan ayah mudah membayar sepatu sport “Gaji ayah kecil dan sering tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. “Ayah, saya tampak seperti bloon
memakai sepatu jenis ini “kataku sambil menunjuk kepada sepasang sepatu oxford baru.
Ayah memandang dalam dalam ke mataku. Kemudian ia menjawab, “Begini saja, Kau
pakai sepatu ini satu hari lagi.Besok, di sekolah, perhatikan semua sepatu dari kawan-
kawanmu. Bila seusai sekolah kau masih berkeyakinan bahwa sepatumu paling butut
dibandingkan sepatu kawan kawanmu, ayah akan memotong uang belanja ibumu dan
membelikanmu sepasang sepatu sports”

Dengan gembira saya pergi ke sekolah, keesokan paginya, penuh keyakinan bahwa hari
itu merupakan hari terakhir bagiku mamakai sepatu oxford yang ketinggalan jaman ini.
Saya lakukan apa yang ayah perintahkan saya lakukan, namun tidak, saya ceritakan apa
yang saya lihat secara teliti.

Sepatu coklat, sepatu hitam, sepatu tennis yang sudah kusam, semua menjadi pusat
perhatianku. Pada petang hari, saya memiliki perbendaharaan dalam ingatanku betapa
banyaknya teman teman di sekolah yang juga memakai sepatu bukan sport, bahkan
sepatu – sepatu rusak, berlobang, menganga dan lain lain bentuk yang sudah mendekati
kepunahan sebagai alat pelindung kaki.

Namun banyak juga yang memakai sepatu sport yang gagah, yang senantiasa berdetak
detik penuh gaya bila si pemiliknya menghentakkannya dengan gagah perkasa.

Setelah sekolah usai, saya berjalan cepat ke bengkel di mana ayah bekerja. Saya hampir
yakin bahwa Senin depan saya juga akan masuk kelompok yang sedang “in” Setiap saya
menghentakkan tumit saya di jalan, saya membayangkan telah memakai sepatu sport
idaman saya. Bengkel sepi sekali saat itu. Suara yang terdengar hanya denting-denting
metal dari kolong sebuah chevy tua buatan tahun 1956. Udara berbau oli, namun pada
hemat penciuman saya, asyik sekali. Hanya seorang langganan sedang menunggu ayah
yang sedang bergulat di kolong chevy tua itu. “Pak Alva” tanya saya kepada langganan
yang sedang menunggu, “masih lamakah?” “Entah Will. Kau tahu sifat ayahmu. Ia
sedang membongkar persneling, namun bila ia mendapatkan adanya bagian lain yang
tidak beres, ia akan menyelesaikannya juga.”

Saya bersandar pada mobil abu abu itu. Apa yang bisa saya lihat hanyalah sepasang kaki
ayah yang menjulur keluar dari kolong mobil. Sambil menjentik jentik lampu belakang
chevy, secara tidak sadar saya menatap kepada kaki ayah. Celana kerjanya berwarna biru

tua, kusam dan lengket terkena oli, lusuh pula. Sepatunya, berwarna putih tua…. ah
….bukan hitam muda……, dan sungguh sungguh butut, sebagaimana mestinya sepatu
seorang montir.

Sepatu kirinya sudah tidak bersol, dan bagian kanan masih memiliki sepotong kecil kulit
tipis, yang dahulu bernama sol. Di ujungnya, sebaris staples menggigit kedua belah kulit
kencang kencang, mencegah jempol kakinya mengintip keluar. Tali sepatunya beriap
riap, dan sebuah lubang memperlihatkan sebagian dari jari kelingkingnya yang terbalut
kaus katun. “Sudah pulang nak? “ayah keluar dari kolong mobil. “Yes sir” kataku. „Kau
lakukan apa yang kuperintahkan hari ini?” “Yes sir” “Nah, apa jawabmu ?” la
memandangku, seolah olah tahu apa yang akan saya ucapkan. “Saya tetap ingin sepatu
sport “Saya berkata tegas, dan berusaha setengah mati untuk tidak memandang kepada
sepatu ayah. “Kalau begitu, ayah harus potong uang belanja ibumu….. “Mengapa tidak
pergi dan membelinya sekarang?” lalu ayah mengeluarkan selembar $ 10. dan
memancing uang receh untuk mencari 30 sen guna membayar 3% pajak penjualannya.
Saya menerima uang itu dan segera berangkat ke pusat pertokoan, dua blok dari bengkel
di mana ayah bekerja.

Di depan sebuah etalase, saya berhenti untuk melihat apakah sepatu sportku masih
dipajang disana. Ternyata masih! $9.95. Namun uang saya tidak akan cukup bila saya
harus membeli paku paku yang akan dipakukan pada solnya dan menimbulkan suara klak
klik yang gagah.

Saya pikir, untuk lari ke rumah dan minta bantuan dana dari mama, sebab tidak mungkin
kembali kepada ayah dan minta kekurangannya.

Pada saat saya teringat kepada ayah, sepatu tuanya tampak membayang melintasi kedua
mataku. Jelas tampak kebututannya, sisinya yang compang camping, paku paku yang
telah mengintip keluar dan sebaris staples yang umumnya dipakai untuk menjepit kertas.
Sepatu kulit usang yang dipakainya untuk menghidupi keluarganya. Pada waktu musim
dingin yang menggigit, sepatu yang sama dipakainya melintasi jalan jalan yang dingin,
menuju kepada mobil mobil yang mogok. Namun ayah tidak pernah mengeluh. Terpikir
olehku, betapa banyaknya benda benda yang seharusnya dibutuhkan ayah, namun tidak
dimilikinya, semata mata agar saya mendapatkan apa yang saya ingini. Dan
kementerengan sepatu sport yang ada di balik kaca etelase di hadapanku mulai memudar.

Apa jadinya bila ayah bersikap sepertiku. Sepatu jenis apa yang saat ini kupakai, bila
ayahku bersikap seperti saya bersikap. Saya masuk ke dalam toko sepatu itu. Sebuah rak
besar terpampang megah, penuh berisikan sepatu sport yang sungguh keren. Di
sampingnya, terdapat sebuah rak lain, dengan sebingkai tulisan “obral besar. 50%
discount”. Dibawah bingkai itu tergeletak sepatu sepatu semodel sepatu ayah, beberapa
generasi lebih muda, tentunya.

Otakku bermain ping pong. Mula mula sepatu ayah yang butut. Dan sekarang sepatu
baru. Pikiran tentang: menjadi “in” dan seirama dengan remaja lain di sekolah. Dan
kemudian pikiran tentang ayah,…. telah mengalahkannya.

Saya mengambil sepatu ukuran 42 dari rak yang berdiscount. Dengan segera berjalan ke
arah meja kasir, ditambah pajak, jadilah
bilangan $ 6.13.

Saya kembali ke bengkel dan meletakkan sepatu baru ayah di atas kursi di mobilnya.
Saya mendapatkan ayah dan mengembalikan uang kembalian yang masih tersisa. “Saya
pikir harganya $ 9.95″ kata ayah. “Obral” kataku pendek. Saya mengambil sapu, dan
mulai membantu ayah membersihkan bengkel. Pukul lima sore, ia memberi tanda bahwa
bengkel harus ditutup dan kami harus pulang.

Ayah mengangkat kotak sepatu ketika kami masuk ke dalam mobilnya. Ketika ia
membuka kotak itu, ia hanya dapat memandang tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia
memandang kepada sepatu itu lama-lama, kemudian kepadaku. “Saya pikir kau membeli
sepatu sport”, katanya pelan.

“Sebetulnya ayah, … tapi …. Saya tak sanggup meneruskannya. Bagaimana saya harus
menjelaskannya bahwa saya sungguh ingin menjadi seperti ayah? Dan bila saya tumbuh
menjadi dewasa, saya sungguh ingin menjadi seperti orang baik ini, yang Tuhan berikan
kepada saya sebagai ayah saya.

Ayah meletakkan tangannya pada bahu saya, dan kami saling memandang untuk waktu
sesaat. Tidak ada kata kata yang perlu dikatakan. Ayah menstarter mobil, dan kami
pulang.

Terima kasih Tuhan, karena engkau telah memberiku seorang ayah yang baik dan
bertanggung jawab………….

Suatu siang dalam liburanku di rumah kakek, aku menghampirinya dan bertanya.

“Menurut Kakek lebih hebat yang mana, menjadi cerdas atau menjadi rajin?”

Kakek meletakkan surat kabar yang ia baca, kemudian menatapku melewati kaca mata
plusnya yang tebal.

“Apa itu cerdas?” tanyanya.

“Pandai berpikir.” jawabku.

Kakek mengangguk. “Lalu apa itu rajin?”

“Suka bekerja.” jawabku lagi.

“Kemarilah.” Ia melambaikan tangan agar aku duduk di sisinya. Aku mendekat dan
duduk di kursi di sampingnya. Melihat dari dekat wajah kakek yang diukir guratan usia
tua, dibingkai sepasang mata teduh yang menyimpan selaksa kebijaksanaan.
“Nah, sekarang katakan, apa yang kau naiki kemarin waktu menuju ke rumah kakek?”

“Mobil.”

“Benar, mobil. Apa yang membuatnya bergerak?”

“Mm… Roda.”

“Apakah roda hanya dapat melaju lurus ke depan?”

Aku menggeleng. “Tidak, roda dapat berbelok-belok. ”

“Mengapa demikian?”

“Karena ada kemudinya.” Jawabku lagi. Masih tak memahami apa hubungan semua ini
dengan pertanyaanku tadi.

Kakek tersenyum.

“„Roda‟ adalah „rajin‟, karena ia selalu bergerak. Itulah kewajibannya, pekerjaannya,
tugas yang harus selalu ia lakukan.
„Kemudi‟ adalah „cerdas‟, karena ialah yang berpikir, menentukan kemana roda harus
berbelok, ke kanan, atau ke kiri.”

“Berarti „cerdas‟ lebih hebat, karena tanpa kemudi, roda tak dapat mengerti kemana harus
mengarahkan lajunya!” Aku berseru.

“Begitukah? Jika tak ada roda apakah ia akan tetap hebat? Apa jadinya kemudi tanpa
roda, apakah mobil tetap dapat melaju?” Kakek bertanya.

“Berarti… „rajin‟ lebih hebat. Walaupun tanpa kemudi, ia masih dapat melaju.” sahutku
ragu-ragu.

“Dan membiarkan mobilnya menabrak segala sesuatu, karena tidak mengikuti alur jalan
yang berliku?”

Aku memandang kakek.

“Cucuku… Keduanya tidak akan menjadi hebat, bila berdiri sendiri-sendiri, terpisah,
tanpa mau bergabung.
Karena kehebatan itu hanya muncul bila mereka saling mendukung dan bekerja sama.
Kemudi yang menentukan arahnya, dan roda yang melajukan mobil sesuai tugasnya.”

Kakek menatapku, “Kau tahu, apa yang membuat keduanya bekerja bersama?”

Aku menggeleng.

“Pengemudi mobilnya. Yang mengatur kemudi dan roda agar saling mendukung dan
berjalan bersama. Bagaimana laju mobilmu, halus atau kasar, menabrak atau lancar,
tergantung siapa yang duduk di tempat itu.” jawab Kakek.
“Ia adalah hatimu.” Telunjuknya terarah ke dadaku.
“Yang mengatur lajunya langkahmu. Dengannya kau memilih, apakah hanya menjadi
cerdas, atau hanya menjadi rajin, atau memutuskan mendudukkan keduanya bersisian dan
saling melengkapi satu sama lain.
Secerdas apapun seseorang, sebesar apapun idenya, tak akan berguna tanpa kerja keras
yang mewujudkannya menjadi nyata.
Serajin apapun seseorang, bila itu dilakukan tanpa pemikiran, hasilnya hanya akan
menjadi sia-sia.”

Kakek menatapku dengan bijak.

“Jadi, menurutmu, mana yang lebih hebat, menjadi cerdas atau menjadi rajin?”

“Menjadi keduanya.” Kataku mantap, dengan senyum lebar membalas senyumnya.

Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke
pintu, menemukan bahwa dikantongnya hanya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia
sangat lapar.
Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan
tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah.
Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.

Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar,
oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.

Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya, “berapa saya harus
membayar untuk segelas besar susu ini ?” Wanita itu menjawab:
“Kamu tidak perlu membayar apapun”. “Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima
bayaran untuk kebaikan” kata wanita itu menambahkan.

Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata :” Dari dalam hatiku aku
berterima kasih pada anda.”

Bertahun-tahun kemudian, wanita muda tersebut mengalami sakit yang sangat kritis. Para
dokter dikota itu sudah tidak sanggup menganganinya. Mereka akhirnya mengirimnya ke
kota besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka
tersebut.

Dr. Howard dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota
asal si wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata Dr. Howard. Segera ia
bangkit dan bergegas turun melalui hall rumahsakit, menuju kamar si wanita tersebut.
Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu.

Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang
konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa
wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan perhatian khusus pada kasus wanita itu.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan… Wanita itu
sembuh !!. Dr. Howard meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan
seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan. Dr. Howard melihatnya,
dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya
ke kamar pasien.

Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa ia tak akan
mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus diangsur seumur hidupnya. Akhirnya
Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik
perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang
berbunyi..”Telah dibayar lunas dengan segelas besar susu !!” tertanda, Dr. Howard Kelly.

Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa:
“Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati dan
tangan manusia.”

Menjelang hari raya, seorang ayah membeli beberapa gulung kertas kado. Putrinya yang
masih kecil, masih balita, meminta satu gulung.

“Untuk apa ?”, tanya sang ayah.

“Untuk kado, mau kasih hadiah.”, jawab si kecil.

“Jangan dibuang-buang ya.”, pesan si ayah, sambil memberikan satu gulungan kecil.

Persis pada hari raya, pagi-pagi si cilik sudah bangun dan membangunkan ayahnya, “Pa,
Pa – ada hadiah untuk Papa.”

Sang ayah yang masih malas-malasan, matanya pun belum melek, menjawab, “Sudahlah
nanti saja.”

Tetapi si kecil pantang menyerah, “Pa, Pa, bangun Pa, sudah siang.”

“Ah, kamu gimana sih, pagi-pagi sudah bangunin Papa.”

Ia mengenali kertas kado yang pernah ia berikan kepada anaknya.

“Hadiah apa nih?”

“Hadiah hari raya untuk Papa. Buka dong Pa, buka sekarang.”

Dan sang ayah pun membuka bingkisan itu. Ternyata di dalamnya hanya sebuah kotak
kosong. Tidak berisi apa pun juga.

“Ah, kamu bisa saja. Bingkisannya koq kosong. Buang-buang kertas kado Papa. Kan
mahal ?”

Si kecil menjawab, “Nggak Pa, nggak kosong. Tadi, Putri masukin begitu buaanyaak
ciuman untuk Papa.”

Sang ayah terharu, ia mengangkat anaknya. Dipeluknya, diciumnya.

“Putri, Papa belum pernah menerima hadiah seindah ini. Papa akan selalu menyimpan
boks ini. Papa akan bawa ke kantor dan sekali-sekali kalau perlu ciuman Putri, Papa akan
mengambil satu. Nanti kalau kosong diisi lagi ya!”

Boks kosong yang sesaat sebelumnya dianggap tidak berisi, tidak memiliki nilai apa pun,
tiba-tiba terisi, tiba-tiba memiliki nilai yang begitu tinggi. Apa yang terjadi? Lalu, kendati
kotak itu memiliki nilai yang sangat tinggi di mata sang ayah, di mata orang lain tetap
juga tidak memiliki nilai apa pun. Orang lain akan tetap menganggapnya kotak kosong.

Kosong bagi seseorang bisa dianggap penuh oleh orang lain. Sebaliknya, penuh bagi
seseorang bisa dianggap kosong oleh orang lain. Kesimpulannya, Kosong dan penuh –
dua-duanya merupakan produk dari “pikiran” anda sendiri.

Sebagaimana anda memandangi hidup – demikianlah kehidupan anda. Hidup menjadi
berarti, bermakna, karena anda memberikan arti kepadanya, memberikan makna
kepadanya. Bagi mereka yang tidak memberikan makna, tidak memberikan arti, hidup ini
ibarat lembaran kertas yang kosong.

Di sebuah daerah terpencil di pinggiran kota, ada seorang guru muda yang sudah cukup lama mengabdi sebagai pengajar di sebuah Sekolah Dasar Terpadu. Gajinya tidaklah terlalu besar, masih di bawah standar UMR daerah tersebut. Sebagai seorang wali kelas, tugasnya tampak lebih berat dan full setiap harinya. Bahkan tugas -tugas administrasi kelas pun membuatnya selalu lembur. Pada awalnya, dia menikmati semua itu. Besar kecil nya gaji tak membuatnya pasrah, ia tetap bersemangat dengan memendam harapan akan adanya kehidupan yang lebih baik baginya kelak.

Namun, sebagai mana manusia pada umumnya, keletihan dan ketidak puasan pasti datang seiring berjalannya waktu. Perbaikan standar gaji tak juga diterimanya. Sedangkan dia harus membiaya hidupnya sendiri yang semakin hari semakin membengkak. Gaji tak bisa lagi menutupi kebutuhan hidup, sedangkan dia sama sekali tidak menyukai sesuatu yang gratis atau hanya bergantung pada pemberian orang.

Maka dia pun menambah aktivitas yang bisa menghasilkan pemasukan tambahan. Dia berjualan baju di pasar setiap hari libur, dan mengajar anak TK sesudah mengajar di SD, sampai malam. Begitulah setiap harinya. Tak ada waktu untuk berleha -leha. Agar bisa tetap bertahan.

Sampai akhirnya sampai ia pada batas kelelahannya. Ia sering mengeluh pada teman dekatnya. Ia ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik; tentunya secara finansial maupun iklim kerja. Lalu ia pun mulai bergerilya lagi, melamar pekerjaan ke tempat lain. Ia bertekad untuk pindah dari sekolah itu, meskipun berat rasanya meninggalkan anak -anak yang diajarnya.

Kemudian, pada suatu hari, saat ia masuk kelas tiba -tiba suasanan begitu sunyi. Anak -anak yang biasanya ramai menyambutnya tidak tampak satupun. Dan, itulah, tiba -tiba beberapa orang anak memeluknya dari belakang sambil berkata; “Ibu, selamat ulang tahun!” mereka mencium telapak tangannya. Diikuti seluruh anak yang diajarnya. Mereka memasang sebuah karton besar di kelas yang ditulisi ucapan selamat ultah oleh seluruh anak.

Guru itupun tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis sambil jongkok di depan kelas. Anak -anak itu satu persatu menyerahkan bingkisan hadian ulang tahun dan selembar surat.

Di rumahnya, guru itu membuka surat -surat cinta itu dan membacanya sambil menangis. Terutama saat membaca, “Ibu, tak ada yang bisa kuberikan selain ucapan ini. Selamat ulang tahun ibu guru. Terima kasih karena telah begitu baik mengajari kami selama ini. Terima kasih atas segala yang telah ibu berikan. Kami mencintai ibu”

Keesokan harinya, guru itu berkata pada temannya, bahwa dia tidak jadi pindah kerja. saat ditanya alasannya, guru itu menjawab, “aku punya anak -anak. aku belum bisa meninggalkan mereka. belum saat ini”

NOTE :

Di saat kenyataan hidup begitu sulit sehingga kita merasa tak bisa memikulnya lagi, apa yang bisa membuat anda bangkit kembali untuk mencoba bertahan? Lalu terus berjuang? Apa yang bisa membuat kita tetap bertahan di jalan ini?

Satu hal yang pasti, keyakinan yang kuat, bahwa sesulit apapun hidup ini, kita pasti bisa melewatinya. Karena kita tak pernah sendirian. Alloh bersama kita, Dia akan memberi kekuatan melalui doa kita. Itulah yang membuat kita bisa tetap bertahan.

Lalu, kehadiran orang –orang yang mencintai kita. Terkadang hal -hal yang dianggap sepele, bisa membuat kita bertahan. Bertahan, dan terus bertahan. Perhatian, doa, dan cinta dari orang -orang terdekat, adalah salah satu sumber kekuatan kita. Kita merasa berarti, merasa dicintai, dibutuhkan, sehingga kita mengerahkan segenap energi kita untuk melanjutkan hidup. Melanjutkan perjuangan, yang tak akan pernah ada ujungnya sampai kita mati.

Sebab kuat itu bukan pada saat kita bisa mendapatkan, namun saat kita bisa memberi. Kuat bukan saat kita bisa memenangkan segala kompetisi dalam hidup, tapi saat kita jatuh lalu bangkit kembali untuk bertahan dan melanjutkan perjuangan.

Pengingat untuk Kehidupan Kita
Hidup ini bukanlah suatu jalan yang datar dan ditaburi bunga melainkan adakalanya disirami airmata dan juga darah. ~ Hamka
Kehidupan ini tidak menjanjikan kebahagiaan sepanjang masa. Kadang kala manusia diasak dengan pelbagai dugaan dan ujian. Sekiranya lemah, kita akan terus hanyut mengikut kata hati dan tidak berusaha mencari penyelesaian untuk menyelamatkan diri dan keadaan.

Hidup di dunia ini tidak ubah seperti seorang musafir yang sedang bernaung di bawah sebatang pohon yang sebentar kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut.
Kehidupan itu adalah suatu nikmat bagi orang yang menghargai dan menyedarinya.
Hidup ini bukanlah seperti habuk yang berterbangan oleh angin. Hidup kita bukan tiada maknanya. Setiap kita mempunyai misi yang besar di dunia ini. Setiap kita! Bukan cuma segolongan manusia, atau sekumpulan orang. Selagi kita bernafas, selagi kita tidak ditalkinkan atau dikuburkan hidup kita mempunyai misi.
Ramai orang melalui hidup ini tanpa mengerti betapa pentingnya mereka kepada umat sejagat. Lalu apabila sesuatu musibah menimpa, mereka mengambil jalan untuk memusnahkan diri kerana tidak sanggup menanggung hebatnya dugaan.
Ingatlah tidak ada arang batu yang menjadi intan tanpa melalui tekanan demi tekanan. Hidup yang melalui kesukaran dan dugaan adalah untuk menjadikan kita lebih kuat dan lebih memahami orang lain. Cuma hati yang pernah dilapah yang boleh merasa besarnya erti kasih dan sayang sesama manusia.
Kita mempunyai hak dan kemampuan untuk mengemudikan sendiri hidup kita. Jika mahu berjaya dan bergembira kita mestilah mengikut corak, pemikiran, sikap, perangai dan pegangan orang yang berjaya.